Hari
menjelang sore, Mitro memandangi hujan di luar kafenya yang enggan reda. Sementara beberapa pengunjung kafenya sebagian sedang sibuk dengan
komputernya. Pengunjung lainnya lebih memilih membaca buku-buku yang
disediakan. Pengunjung memang kadang
agak aneh, mereka yang memilih membaca buku-bukunya, paling menyukai
komik-komik lama yang sudah kumal dan lecet-lecet, entah mengapa. Komik-komik tersebut memang Mitro kumpulkan
dan pelihara dengan baik sejak ia kecil sampai ia memiliki taman bacaan saat
kuliah dan hingga ia memiliki kafe saat ini.
Salahsatu komik, Si Kancil, tergeletak di karpet lantai bekas dibaca
pengunjung. Mitro ingat betul dengan
komik yang satu ini. Komik Si
Kancil memang bukan miliknya, tapi milik
Amir, sahabatnya saat kecil.
Saat
mengembalikkan komik yang tergeletak tadi kembali ke rak komiknya, ingatannya
melesat jauh kembali kala ia masih menjadi loper koran saat kecil dulu. Kesulitan ekonomi keluarganya memaksanya
untuk membantu keluarganya dengan menjadi loper koran. Setiap pagi masih gelap, ia harus membagikan
koran-koran kepada pelanggan koran di komplek perumahan yang cukup jauh dari
tempat tinggalnya, dan saat pagi mulai terang koran-koran itu harus habis
terbagi, karena jika terlambat, ia akan terlambat juga masuk sekolahnya. Hal yang selalu diingatnya saat itu, yaitu
ketika suatu pagi hujan lebat turun saat tengah dirinya membagikan korannya,
namun hujan semakin besar dan koran yang ia bagikan mulai basah. Mitro terpaksa mencari tempat teduh, tapi
celaka!, tidak ada tempat untuk berlindung dari hempasan air hujan. Mitro panik karena hampir semua koran-koran telah basah, dan
dirinya akhirnya hanya pasrah terduduk di depan pagar besi satu rumah besar dan
mulai menangis. Saat menyesali dirinya
saat itu, tiba-tiba ada tangan yang menepuk dan ia lihat seorang anak laki-laki
sebayanya.
“Ayo
masuk ke rumah!” ujar anak itu sambil menarik tangannya.
Namun
saat itu seluruh pakaian dan koran yang
didekapnya telah basah semua.
“Enggak,
biar di sini saja” jawab Mitro masih sambil menangis.
Anak
itu diam dan tidak memaksaku untuk masuk ke rumahnya lagi.
Mitro
terkaget saat itu karena tiba-tiba anak itu berjongkok di sampingnya, bukannya
kembali ke dalam rumahnya.
“Hey,
kenapa? Hujan !” setengah Mitro berteriak karena suara hujan, Mitro menyuruh
anak itu untuk masuk ke rumahnya.
Mitro
kebingungan dengan ulah anak itu, tapi tidak bisa berbuat apa-apa, dan anak itu
dilihatnya mulai basah kuyup karena hujan, seperti dirinya.
Saat
pagi mulai memutih, hujan mulai reda dan saat Mitro hendak beranjak dari
tempatnya, ia terkaget kedua kalinya karena anak laki-laki itu masih berjongkok
di sampingya, dan anak laki-laki itu berkata sambil mengulurkan tangannya.
“Nama
kamu siapa? Aku Amir” ujar anak itu
sambil menyeka air hujan di wajahnya.
Ia
membalas uluran tangan anak itu.
“Mitro”
ujarnya.
Sejak
perkenalan pagi itu, ia dan Amir berteman.
Hampir di setiap hari minggu pagi setelah perkenalan itu, di saat tidak
ada koran yang harus dibagikannya karena tidak terbit, Mitro mendapatkan
cerita-cerita baru dari komik yang dibacanya di rumah Amir. Temannya itu memiliki banyak sekali komik
yang dibelikan bapaknya. Setiap ada
komik baru, ia dan Amir selalu membacanya bersama-sama di atas pohon mangga
rumah Amir yang berhalaman luas. Ia tak
mengerti mengapa Amir saat itu menjadi sahabatnya yang baik dengan tidak
melihat dirinya sebagai anak loper koran.
Mungkin karena Amir perlu teman di rumahnya yang luas dan hanya ditemani
bi Idah. Ia pernah bertanya satu saat
tentang orang tua Amir.
“Mir,
Bapak sama ibumu pada kemana?”
“Katanya
kerja buat cari uang buat aku, pulangnya malam-malam terus” tukas Amir.
Ia berpikir saat itu kalau mau punya rumah yang besar seperti Amir, pulang kerjanya harus malam-malam.
Suatu
saat hari minggu seperti biasanya saat Mitro bermain di rumah besar itu, Amir memegang sebuah komik baru di tangannya,
dengan gambar seekor kancil di halaman depan komik itu dan bertuliskan Si
Kancil. Ia dan Amir membacanya di cabang
besar pohon mangga yang biasanya. Saat
membaca di tengah halaman, tiba-tiba hujan mulai turun dan semakin
membesar. Amir memberikan komik itu
kepadanya untuk dibawa pulang dan dibaca di rumah Mitro.
“Mit,
kamu bawa saja ke rumahmu, tapi minggu depan jangan lupa dibawa ke sini ya?”
Pinta Amir
Ia
pun mengiyakan.
Namun
rupanya hari itu merupakan hari terakhir pertemuannya dengan Amir, karena hari minggu di kemudian hari, saat ia akan
mengembalikan komik Si Kancil, ia mendapatkan rumah temannya itu sepi dan pagar
rumahnya terkunci. Setiap hari minggu
berikutnya, saat ia mengunjungi rumah Amir, ia tetap mendapati rumah itu kosong
dan terkunci. Ia pun merasakan sedih yang sangat akan kehilangan sahabatnya
itu, terutama saat membaca bersama di atas pohon mangganya. Hingga saat ini ia tak lagi menjumpai dan
mendapatkan kabar sahabatnya itu.
Mitro
terbangun dari lamunan masa kecilnya, saat seorang pelanggan kafenya memesan
dua cangkir kopi hitam. Amir segera
membuatkan kopi hitam. Diliriknya jam
dinding kafenya, sudah hampir jam sembilan malam. Saat mulai beranjak malam seperti ini, Amir
memang bekerja sendiri, tiga orang pegawainya telah pulang setengah jam yang
lalu. Kafe miliknya memang buka hingga
jam dua belas malam dan pegawainya telah bekerja dari jam sepuluh pagi hingga
ia menggantikannya pada sore hari. Malam
begini pengunjung kafe memang tidak sebanyak di siang hari, pengunjung tetaplah
yang umumnya datang pada malam hari begini. Siang hari, ia gunakan untuk
mengikuti kuliah magisternya dan saat menemani pengunjung kafenya di malam
hari, ia mengerjakan proposal penelitiannya.
Hujan
di luar kafe mulai mengecil namun masih cukup kerap.
Sambil
mencari kalimat-kalimat yang tepat untuk dituliskannya di proposalnya, ia
pandangi jatuhnya air hujan dan beberapa orang berteduh di depan kafe. Memang
hujan masih cukup kerap hingga bisa menahan orang-orang yang pulang bekerja untuk
segera pulang ke rumahnya. Ia perhatikan
seseorang yang berteduh, laki-laki muda berkemeja putih dengan pakaiannya yang
mulai basah kuyup diimbas air hujan, kasihan pikirnya, mungkin tempat pulangnya
masih cukup jauh hingga laki-laki itu berteduh.
Laki-laki itu setinggi dengan Mitro, dan saat menoleh ke belakang, Mitro terkesiap. Ia merasakan ada yang lain dengan batang
hidung laki-laki itu. Ya, batang hidung agak melengkung di tengahnya itu
seperti mengingatkan seseorang yang ia hafal betul. Laki-laki di luar itu mengibas-ngibaskan
punggungnya dari air hujan hingga ia berbalik badan ke arah Mitro. Mitro tambah terkesiap, sekerjap putihnya
sinar petir menambah jelas laki-laki itu,
hidung, mata dan wajah itu, ya! ia hafal betul walaupun sudah lama tidak
ditemuinya. Amir ! tidak salah lagi !
Mitro
melompat ke luar kafenya mendekati laki-laki itu.
“Amir
???!!” seru Mitro hingga berteriak.
Laki-laki
itu menoleh ke arahnya dan menajamkan pandangannya.
“Mitro
???” laki-laki itu ragu-ragu akan pandangannya.
“Ya
! Amir!... Amir, Mit!“ Amir mengguncang-guncangkan tubuh laki-laki
itu.
Kedua
sahabat dekat itu saling mengguncang-guncangkan badannya.
Mata
mereka berdua berkaca-kaca, hingga air mata tak terbendung mengalir.
Kedua
bersahabat itu berpelukan erat.
Mitro
menarik tangan sahabatnya ke dalam kafenya dan mendudukannya di kursi sofa
kafenya.
Kedua
sahabat saling berpandangan dan tak tahu harus mulai berbicara apa.
“Kamu
kemana saja?! Aku tak pernah menemukanmu lagi!
Terakhir aku ke rumahmu waktu kita kecil dulu, rumahmu kosong, kamu
kemana? Amir menembaki sahabatnya dengan
pertanyaan.
Amir
terdiam sejenak, “ceritanya panjang Mit” ada kerut sedih diwajahnya namun Amir masih
tersenyum.
“Waktu
itu rumah ayahku disita bank karena menunggak, dan aku ikut ayahku pindah ke
rumah kakekku” Amir bercerita singkat.
“Ooo…..”
Mitro menyesal dan merasa bersalah telah bertanya tentang itu pada sahabat
kecilnya itu.
“Tapi
sebentar……” Mitro melompat cepat ke arah rak komik dan menarik satu komik dari
deretannya.
“
Ini ! komik Si Kancil milikmu, aku masih
menyimpannya!” Amir memberikan komik
itu.
Tapi
sahabatnya itu tak segera menerimanya.
“Jadi……kafe
ini milikmu Mit?!” Amir bertanya sambil
menyapu pandangannya ke isi kafe.
“Iya
Mir…” Mitro menjawab sambil
menepuk-nepuk sahabatnya.
“Hebat
kamu Mit!” seru Amir sambil membalas menepuk-nepuk sahabatnya itu.
Amir
melanjutkan ucapannya,
“Sementara
aku Mit, sekarang sedang mencari pekerjaan setelah beberapa kali berganti
pekerjaan karena gajinya terlalu kecil untuk membelikan obat ayahku yang masih
sakit” ujar Amir sambil menerawang.
Mitro
terdiam mendengar ucapan Amir.
“Yaa….dunia
memang berubah Mit” Ujar Amir mengobati
sendiri kesedihannya.
“Ya,
dunia memang berubah…” Mitro menanggapi dan khawatir menjadikannya sedih
sahabatnya itu.
“Ya
dunia memang berubah Mir, dan aku telah menemukan kembali sahabat baikku” Mitro mengembangkan kedua tangannya.
Kedua
sahabat itu terdiam dan segera berpelukan erat.
Malam
terus bergulir dan hujan di luar telah reda.
=
= = = = = = = = = = = =
#Maret2014
by Tom Kifli
*)
terispirasi dan diadaptasi dari video klip “Dunia Pasti Berputar” band ST12.