Kamis, 27 Maret 2014

Dunia Pasti Berubah

Hari menjelang sore, Mitro memandangi hujan di luar kafenya yang enggan reda.  Sementara beberapa pengunjung  kafenya sebagian sedang sibuk dengan komputernya. Pengunjung lainnya lebih memilih membaca buku-buku yang disediakan.  Pengunjung memang kadang agak aneh, mereka yang memilih membaca buku-bukunya, paling menyukai komik-komik lama yang sudah kumal dan lecet-lecet, entah mengapa.  Komik-komik tersebut memang Mitro kumpulkan dan pelihara dengan baik sejak ia kecil sampai ia memiliki taman bacaan saat kuliah dan hingga ia memiliki kafe saat ini.  Salahsatu komik, Si Kancil, tergeletak di karpet lantai bekas dibaca pengunjung.   Mitro ingat betul dengan komik yang satu ini.  Komik Si Kancil  memang bukan miliknya, tapi milik Amir, sahabatnya saat kecil.

Saat mengembalikkan komik yang tergeletak tadi kembali ke rak komiknya, ingatannya melesat jauh kembali kala ia masih menjadi loper koran saat kecil dulu.  Kesulitan ekonomi keluarganya memaksanya untuk membantu keluarganya dengan menjadi loper koran.  Setiap pagi masih gelap, ia harus membagikan koran-koran kepada pelanggan koran di komplek perumahan yang cukup jauh dari tempat tinggalnya, dan saat pagi mulai terang koran-koran itu harus habis terbagi, karena jika terlambat, ia akan terlambat juga masuk sekolahnya.  Hal yang selalu diingatnya saat itu, yaitu ketika suatu pagi hujan lebat turun saat tengah dirinya membagikan korannya, namun hujan semakin besar dan koran yang ia bagikan mulai basah.  Mitro terpaksa mencari tempat teduh, tapi celaka!, tidak ada tempat untuk berlindung dari hempasan air hujan.  Mitro panik karena  hampir semua koran-koran telah basah, dan dirinya akhirnya hanya pasrah terduduk di depan pagar besi satu rumah besar dan mulai menangis.  Saat menyesali dirinya saat itu, tiba-tiba ada tangan yang menepuk dan ia lihat seorang anak laki-laki sebayanya.

“Ayo masuk ke rumah!” ujar anak itu sambil menarik tangannya.

Namun saat itu seluruh pakaian dan koran yang  didekapnya telah basah semua.

“Enggak, biar di sini saja” jawab Mitro masih sambil menangis.

Anak itu diam dan tidak memaksaku untuk masuk ke rumahnya lagi.

Mitro terkaget saat itu karena tiba-tiba anak itu berjongkok di sampingnya, bukannya kembali ke dalam rumahnya.

“Hey, kenapa? Hujan !” setengah Mitro berteriak karena suara hujan, Mitro menyuruh anak itu untuk masuk ke rumahnya.

Mitro kebingungan dengan ulah anak itu, tapi tidak bisa berbuat apa-apa, dan anak itu dilihatnya mulai basah kuyup karena hujan, seperti dirinya.

Saat pagi mulai memutih, hujan mulai reda dan saat Mitro hendak beranjak dari tempatnya, ia terkaget kedua kalinya karena anak laki-laki itu masih berjongkok di sampingya, dan anak laki-laki itu berkata sambil mengulurkan tangannya.

“Nama kamu siapa? Aku Amir”  ujar anak itu sambil menyeka air hujan di wajahnya.
Ia membalas uluran tangan anak itu.
“Mitro” ujarnya.
Sejak perkenalan pagi itu, ia dan Amir berteman.  Hampir di setiap hari minggu pagi setelah perkenalan itu, di saat tidak ada koran yang harus dibagikannya karena tidak terbit, Mitro mendapatkan cerita-cerita baru dari komik yang dibacanya di rumah Amir.  Temannya itu memiliki banyak sekali komik yang dibelikan bapaknya.  Setiap ada komik baru, ia dan Amir selalu membacanya bersama-sama di atas pohon mangga rumah Amir yang berhalaman luas.  Ia tak mengerti mengapa Amir saat itu menjadi sahabatnya yang baik dengan tidak melihat dirinya sebagai anak loper koran.  Mungkin karena Amir perlu teman di rumahnya yang luas dan hanya ditemani bi Idah.  Ia pernah bertanya satu saat tentang orang tua Amir.

“Mir, Bapak sama ibumu pada kemana?”

“Katanya kerja buat cari uang buat aku, pulangnya malam-malam terus”  tukas Amir.  Ia berpikir saat itu kalau mau punya rumah yang besar seperti Amir,  pulang kerjanya harus malam-malam.

Suatu saat hari minggu seperti biasanya saat Mitro bermain di rumah besar itu,  Amir memegang sebuah komik baru di tangannya, dengan gambar seekor kancil di halaman depan komik itu dan bertuliskan Si Kancil.  Ia dan Amir membacanya di cabang besar pohon mangga yang biasanya.  Saat membaca di tengah halaman, tiba-tiba hujan mulai turun dan semakin membesar.  Amir memberikan komik itu kepadanya untuk dibawa pulang dan dibaca di rumah Mitro.

“Mit, kamu bawa saja ke rumahmu, tapi minggu depan jangan lupa dibawa ke sini ya?” Pinta Amir

Ia pun mengiyakan.

Namun rupanya hari itu merupakan hari terakhir pertemuannya dengan Amir, karena  hari minggu di kemudian hari, saat ia akan mengembalikan komik Si Kancil, ia mendapatkan rumah temannya itu sepi dan pagar rumahnya terkunci.  Setiap hari minggu berikutnya, saat ia mengunjungi rumah Amir, ia tetap mendapati rumah itu kosong dan terkunci. Ia pun merasakan sedih yang sangat akan kehilangan sahabatnya itu, terutama saat membaca bersama di atas pohon mangganya.   Hingga saat ini ia tak lagi menjumpai dan mendapatkan kabar sahabatnya itu.

Mitro terbangun dari lamunan masa kecilnya, saat seorang pelanggan kafenya memesan dua cangkir kopi hitam.  Amir segera membuatkan kopi hitam.  Diliriknya jam dinding kafenya, sudah hampir jam sembilan malam.  Saat mulai beranjak malam seperti ini, Amir memang bekerja sendiri, tiga orang pegawainya telah pulang setengah jam yang lalu.  Kafe miliknya memang buka hingga jam dua belas malam dan pegawainya telah bekerja dari jam sepuluh pagi hingga ia menggantikannya pada sore hari.  Malam begini pengunjung kafe memang tidak sebanyak di siang hari, pengunjung tetaplah yang umumnya datang pada malam hari begini. Siang hari, ia gunakan untuk mengikuti kuliah magisternya dan saat menemani pengunjung kafenya di malam hari, ia mengerjakan proposal penelitiannya. 

Hujan di luar kafe mulai mengecil namun masih cukup kerap. 

Sambil mencari kalimat-kalimat yang tepat untuk dituliskannya di proposalnya, ia pandangi jatuhnya air hujan dan beberapa orang berteduh di depan kafe. Memang hujan masih cukup kerap hingga bisa menahan orang-orang yang pulang bekerja untuk segera pulang ke rumahnya.  Ia perhatikan seseorang yang berteduh, laki-laki muda berkemeja putih dengan pakaiannya yang mulai basah kuyup diimbas air hujan, kasihan pikirnya, mungkin tempat pulangnya masih cukup jauh hingga laki-laki itu berteduh.  Laki-laki itu setinggi dengan Mitro, dan saat menoleh ke belakang,  Mitro terkesiap.  Ia merasakan ada yang lain dengan batang hidung laki-laki itu. Ya, batang hidung agak melengkung di tengahnya itu seperti mengingatkan seseorang yang ia hafal betul.  Laki-laki di luar itu mengibas-ngibaskan punggungnya dari air hujan hingga ia berbalik badan ke arah Mitro.  Mitro tambah terkesiap, sekerjap putihnya sinar petir  menambah jelas laki-laki itu, hidung, mata dan wajah itu, ya! ia hafal betul walaupun sudah lama tidak ditemuinya. Amir ! tidak salah lagi !

Mitro melompat ke luar kafenya mendekati laki-laki itu.

“Amir ???!!” seru Mitro hingga berteriak.

Laki-laki itu menoleh ke arahnya dan menajamkan pandangannya.

“Mitro ???” laki-laki itu ragu-ragu akan pandangannya. 

“Ya !  Amir!... Amir, Mit!“  Amir mengguncang-guncangkan tubuh laki-laki itu.

Kedua sahabat dekat itu saling mengguncang-guncangkan badannya.

Mata mereka berdua berkaca-kaca, hingga air mata tak terbendung mengalir.

Kedua bersahabat itu berpelukan erat.

Mitro menarik tangan sahabatnya ke dalam kafenya dan mendudukannya di kursi sofa kafenya.

Kedua sahabat saling berpandangan dan tak tahu harus mulai berbicara apa.

“Kamu kemana saja?! Aku tak pernah menemukanmu lagi!  Terakhir aku ke rumahmu waktu kita kecil dulu, rumahmu kosong, kamu kemana?  Amir menembaki sahabatnya dengan pertanyaan.

Amir terdiam sejenak, “ceritanya panjang Mit” ada kerut sedih diwajahnya namun Amir masih tersenyum.

“Waktu itu rumah ayahku disita bank karena menunggak, dan aku ikut ayahku pindah ke rumah kakekku”  Amir bercerita singkat.

“Ooo…..” Mitro menyesal dan merasa bersalah telah bertanya tentang itu pada sahabat kecilnya itu.

“Tapi sebentar……” Mitro melompat cepat ke arah rak komik dan menarik satu komik dari deretannya.

“ Ini ! komik Si Kancil milikmu,  aku masih menyimpannya!”  Amir memberikan komik itu.
Tapi sahabatnya itu tak segera menerimanya.

“Jadi……kafe ini milikmu Mit?!”  Amir bertanya sambil menyapu pandangannya ke isi kafe.

“Iya Mir…”  Mitro menjawab sambil menepuk-nepuk sahabatnya.

“Hebat kamu Mit!” seru Amir sambil membalas menepuk-nepuk sahabatnya itu.

Amir melanjutkan ucapannya,

“Sementara aku Mit, sekarang sedang mencari pekerjaan setelah beberapa kali berganti pekerjaan karena gajinya terlalu kecil untuk membelikan obat ayahku yang masih sakit” ujar Amir sambil menerawang.

Mitro terdiam mendengar ucapan Amir.

“Yaa….dunia memang berubah Mit”  Ujar Amir mengobati sendiri kesedihannya.

“Ya, dunia memang berubah…” Mitro menanggapi dan khawatir menjadikannya sedih sahabatnya itu.

“Ya dunia memang berubah Mir, dan aku telah menemukan kembali sahabat baikku”  Mitro mengembangkan kedua tangannya.

Kedua sahabat itu terdiam dan segera berpelukan erat.

Malam terus bergulir dan hujan di luar telah reda.

= = = = = = = = = = = = =

#Maret2014 by Tom Kifli
 
*) terispirasi dan diadaptasi dari video klip “Dunia Pasti Berputar”  band ST12.


Senin, 23 Februari 2009

Struggle for Life (biji durian)



Cukup (sangat) lama juga aku merasa terkena lazy sindrom (alias penyakit malas), malas nulis, malas berpikir keras. Barangkali Ada 2 kemungkinan yang menyebabkannya, faktor fisik dan non fisik. Faktor fisik, ya rasanya cape banget beberapa bulan ini, ‘tidak berenergi’ + ngantu’an (beuki sare!) badan kaya’nya bawa kerja sedikit langsung lemes. Faktor kedua, memang malas berpikir, males buat nulis artikel atau bahan buat tulisan jurnal dsb, padahal sudah cukup banyak tema/topik yang menantang untuk ditulis. Mungkin juga kedua faktor tadi saling mempengaruhi, badan lemes bisa jadi karena ga punya semangat, atau sebaliknya ga semangat berpikir karena memang badan lemes. Tentunya badan lemes tergantung asupan energi juga kan? (makanan), setelah dimonitoring diri, rasa-rasanya asupan ga banyak berubah dari bulan-bulan biasanya. Jadi mungkin males berpikirlah yang menjadi ga semangat hidup gituh. So, motivasi hidup mesti dipompa lagi neh…dan mestinya lagi cuma diri sendiri yang tau obatnya biar semangat lagi !!!

Terinspirasi dari satu fenomena kecil di belakang rumah, satu sore ditemukan biji durian yang mulai bertunas. Setelah diamati, ternyata biji durian itu sebenarnya telah sengaja dibuang, yang dikumpulkan terlebih dahulu dalam plastik. Tapi ternyata setelah beberapa lama biji durian itu, dengan kemauan dirinya dapat bertunas dan mulai memiliki daun, padahal biji-biji itu terkumpul di dalam plastik tertutup (sebelumnya). Daya juang, dengan menyesuaikan dan memaksakan diri, biji itu bisa tumbuh dan mulai punya akar! Ooo…alangkah hebatnya semangat untuk selalu hidup dan berkembang dari durian itu. Hikmah yang bisa didapat dari fenomena sore itu; alangkah naifnya diri ini jika tidak memiliki semangat hidup, bahkan siap untuk dikalahkan oleh semangatnya biji durian! Padahal tanggung jawab terhadap diri, keluarga dan lingkungan sangatlah jauh lebih besar dari tanggung jawab diri biji durian. Bayangkan jika tak bertanggung jawab dengan bermalas-malasan terus, padahal diri sendiri perlu untuk dinafkahi (lahir+bathin), begitu juga istri, anak-anak bahkan pekerjaan di kantor sekalipun.

Terima kasih Tuhan….telah mengajari aku dengan perjuangannya biji durian…..

Jumat, 09 Januari 2009

Air mata telah kering

Tanah telah berubah jadi hitam karena darah yang mengering. Palestina...menunggu tangan Tuhan berkehendak.

Senin, 08 Desember 2008

Revolusi (?)


Kadang kala terpikir, berapa energi kalori yang terbuang setiap hari, untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan di negeri ini. Mulai dari menghindari senggolan kendaraan tiap pagi (padahal kita sudah menghindar, masih juga dipepet...), hingga konfirmasi kedatangan rapat kantor (padahal sudah dikirimi fax sebelumnya), dari anak yang keukeuh menaruh gelas di lantai (padahal sudah diberi 'nyaho' sebelumnya) sampai masih juga sholat subuhku yang terlambat (padahal sudah pasang alarm di HP).....belum lagi dari setiap jam kita dicekoki iklan TV yang tak beretika lagi.

Itu baru yang kecil-kecil, belum kalo pagi-pagi baca koran tentang korupsi/kolusi BLBI milyaran, masyarakat korban Lapindo yang diterlantarkan (!!!), tokoh capres yang semakin lebih dari 2 lusin dan merasa layak jadi presiden, pemerintah yang (katanya) masih diperintah (asing).....

Dig !!! pusing...kapan bisa terjadi negeri yang tentram, nyaman, semua teratur, rapih, aman, bersih, sehat, menyejukkan mata, istiqomah, tak ada rasial, berjalan sesuai kaidah hati (kebenaran), tak ada 'ngerasani', tak ada gosip....

Ah.....apakah bisa terjadi, atau memang dunia diciptakan dengan variasi kehidupan, agar ada nilai kesabaran+perjuangan (yang hasilnya pahala), tapi BTW kembali lagi ; mungkin terlalu banyak energi yang terbuang percuma yang seharusnya tidak dikeluarkan......apakah menunggu perbaikan itu berjalan perlahan sejalan waktu (5 tahun? 15 tahun? 50 tahun? 100 tahun?) negeri ini bisa benar-benar mencapai utopianya (untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, tentram)?

Aku percaya evolusi dapat dimulai dari diri kita tentunya, sebagai unit partikel dari perubahan tersebut, tapi mengapa menunggu begitu lama? apakah sampai menunggu cucu cicit kita mengarahkan telunjuknya ke arah kakek dan moyangnya atas derita yang dialaminya?

Apakah kita memerlukan suatu revolusi (pemikiran dan gerakan) untuk perbaikan cucu cicit kita?

Jawabnya : terserah kita.

Sabtu, 22 November 2008

Lampit atau tikar rotan



Lampit atau tikar yang dibuat dari rotan, merupakan salahsatu kerajinan tangan (handicraft) dari Kalimantan. Jangan bayangkan rotan yang digunakan untuk lampit, besarnya sama dengan seperti rotan yang digunakan untuk kursi rotan, yang berukuran diameter sebesar jari telunjuk. Rotan yang digunakan untuk lampit berukuran kecil, sebesar sedotan plastik untuk minum sirop, itupun dibelah dua lagi. Rotan yang telah dibelah dua tersebut kemudian dirangkai dan dijahit dengan benang kuat, dan pada tepinya ditutup dengan jahitan yang rapih dan kuat. Daya tahan/umur pakai lampit dapat dipakai hingga 4-5 tahun, asalkan jangan ada ikatan yang terlepas. Ukuran lampit sangat beragam mulai dari 100 cmX50 cm hingga ukuran 300 cmX200 cm.

Lampit sangat cocok untuk daerah tropis, karena dapat menyerap dinginnya lantai jika udara di rumah panas, sehingga pengguna dapat bersantai dengan nyaman pada saat kepanasan. Jenis lampit sendiri bervariasi, dibedakan dengan kehalusan, ukuran dan alas lampit sendiri. Dasar/alas lampit biasanya ditutup dengan kain tebal kasar, sehingga kuat. Selain itu, terdapat juga lampit yang dapat dibalik / atas bawahnya dapat digunakan. Bagian atas lampit yang halus biasanya lebih mahal dibandingkan yang kurang halus.

Harga lampit sangat bervariasi dengan kisaran 100 ribu-750 ribu, namun untuk penggunaan sehari-hari di rumah, dengan ukuran 200 cmX150 cm dan termasuk kualitas baik, dihargai sekitar 200 ribu (+ongkos kirim jika ke Jakarta/Jawa sekitar 75 ribu).

Jika anda kebetulan ke Pontianak, kios yang menjual lampit banyak tersebar di Jl. Imam Bonjol dan di sekitar GOR Kebun Sayur (Kebon Sayok). Bila anda belum sempat ke Pontianak, dapat langsung pesan kepada kenalan anda di Pontianak atau dapat juga hub. Kifli 08125694081 (keevle354@yahoo.com) atau tinggalkan pesan di Blog ini. Pesanan anda akan ditindaklanjuti.
(keterangan foto : umur pakai lampit milik penulis setelah 3 tahun lebih)

Kamis, 06 November 2008

The Winner goes to Obama

Fenomena yang cukup menegangkan sekaligus mencengangkan Amerika, bahkan Dunia. Setelah menunggu 43 presidennya sebelumnya, akhirnya rakyat Amerika memilih seorang Obama yang kebetulan berkulit hitam, bahkan bapaknya Afrika tulen! Selama ini, ada idiom di Amerika, yang katanya : "kulit putih? jalan terus!", "Hispanik? tunggu dulu!" dan "Kulit hitam? silahkan minggir!", dan setelah ratusan tahun juga, akhirnya masyarakat Amerika dapat memberikan simbol, bahwa Ras bukan masalah lagi bagi mereka (padahal mereka mengaku dari dulu sebagai gurunya Demokrasi!). Apapun dapat terjadi ! mungkin itu pelajaran yang bisa kita ambil, dan tentunya kerja keras dan kerja cerdas! Well, mengapa seluruh dunia menyambut dan sebelumnya mendukung Obama? Mungkin, itu sebagai perlawanan dunia dalam melawan keangkuhan Amerika yang egois dengan Rasial-nya (atau bahkan supremasi Ras), sekaligus waktu yang tepat sekali bagi Obama dengan mengusung "Change"-nya, karena memang Amerika sedang terpuruk dengan ekonominya dan itu memerlukan pemimpin yang tangguh dan visi yang jelas, dan itu pula yang dimiliki Obama. Bayangkan bila McCain terpilih, peluang tambah terpuruknya Amerika sangat jelas! dengan visi yang sangat klasik (bahwa Amerika bagaimanapun diakuinya sebagai polisi dunia) sangat ketinggalan jaman! melalui Obama, rakyat Amerika berharap Amerika tetap menjadi negara yang tangguh, namun jelas tidak bisa lagi menjadi polisi dunia karena itu sudah basi. Kerjasama yang saling menguntungkan, itulah yang harus dipilih Obama dalam berhubungan dengan negara-negara lainnya. Viva keadilan dunia--Viva Obama, selamat untuk anda!

Jumat, 24 Oktober 2008

Di sana menanti

Ibarat serumpun kembang

Di padang belantara


Ibarat sergapan wangi melati

Di kolam kawah yang meletup


Ibarat cicit burung ladang

Di belantara padang terbakar


Ibarat sejumput rempah

Di belanga ramuan tuba


Kemana kah dirimu hendak melangkah

Adakah waktu untuk menanti?

Powered By Blogger